Category Archives: Vietnam

40

PRIA setengah baya itu tiba-tiba jongkok di hadapan kami, memamerkan senyumnya dengan gigi yang rata. Ia bergeming dari posisi jongkoknya yang hanya berjarak 50 cm dari kami, meski kami sibuk mengacuh kehadirannya dengan asyik membalurkan lotion anti nyamuk di sekujur tubuh. Sudah hampir tiga menit dia nongkrong di situ, menonton kami bagai tontonan ikan spesies langka di sebuah akuarium. Jujur, kami merasa gerah dengan sikapnya. Tapi, diacuhkan, ia tetap tersenyum lebar, sebentar kemudian, dia kembali meminta perhatian kami, untuk kali ketiga, dan kembali menggoreskan angka “40” di pasir, lalu mengarahkan telunjuknya kepada kami berulang kali.

“Ok, ok, kami mengerti, 40 ribu dong (mata uang Vietnam). Kami akan bayar, tenang saja. Kami bayar di restoran nanti,” ujar kami. Pria setengah baya yang datang telanjang kaki itu mengangguk-angguk seraya (masih) memamerkan giginya. Puas.

40 ribu dong, harga yang dipatoknya buat makan malam dan hut yang lagi kami singgahi. Setidaknya, itu maksud pria tersebut yang kami tanggap. Dia pun lari meninggalkan kami, kembali ke pondok kecilnya yang berfungsi sebagai rumah sekaligus restoran kecil-kecilan di sudut pantai yang tak sengaja kami temukan dalam perjalanan dari Hoi An ke Sai Gon. Pantai di kota kecil yang hingga kini tak kami ketahui namanya itu sangat indah. Hamparan pasirnya putih dengan pemandangan bebatuan raksasa di ujung laut. Yang makin bikin kami puas, pantai ini bersih dari gerombolan turis-turis lainnya. Terasa lebih damai.

Kami pun beranjak menuju restoran mereka dan menyerahkan uang 40 ribu dong kepada pria tersebut. Dia malah terkejut sambil menggelengkan kepalanya dan mengibaskan kedua tangannya menolak uang pemberian kami. Lho? Tadi ngotot minta 40, sekarang kok nolak? Kami tetap menyodorkan uang tersebut sambil menjelaskan sebagai pembayaran makan malam dan hut pinjaman, dalam bahasa Inggris, tentu. Dan, tentunya, penjelasan kami tak dimengertinya, karena ia tak paham bahasa Inggris.

Beruntung, putra sulungnya muncul dari dalam pondok. Bermodal bahasa Inggris pas-pasan yang diakuinya ia pelajari dari sekolah, ia mengatakan keluarganya tak meminta bayaran buat makan malam. Gratis? Wuiih, enak beneeer. Tapi, kami tak bisa menerimanya. Terlalu banyak nasi dan telur dadar yang mereka habiskan buat memuaskan perut kami yang keroncongan. Setelah ‘rapat’ keluarga dengan wajah malu-malu bocah itu meminta bayaran 15 ribu dong.

Trus, 40 maksudnya apa?

Usia. Rupanya si bapak mendatangi kami berkali-kali hanya untuk memberitahukan dengan bangga usianya sudah 40. Berkali-kali ia menunjuk kea rah kami karena ingin tahu berapa umur kami. Ya, saya ingat sekarang. Perkenalan di Viet Nam memang unik. Usia jadi pertanyaan pertama ketika bertemu dengan orang baru. Di hari pertama menjejakkan kaki di North of Viet Nam, kami nongkrong di sebuah restoran lokal. Sambil menyeruput bubur ayam ala Viet Nam yang bener-bener encer, putra dari empunya restoran duduk di hadapan kami. Ia memberi kode 20 dengan kedua tangannya, lalu menunjuk kepada saya. Saya balas dengan memberi kode usia saya. Dia dan ibunya pun mengangguk-nangguk tersenyum. Pertanyaan selanjutnya pun bergulir, seperti “What’s your name?”, “Where are you come from?”, begitu saya sebut Indo (Indonesia), mereka terkejut dan tertawa senang. Akhirnya, kami diberi angpao senilai 2 ribu dong. Hari itu bertepatan dengan Imlek.

Di kota setelah ‘unkown beach’, pagi itu, kami tengah bersiap-siap packing menuju kota selanjutnya. Selagi menunggu selesai packing, saya diundang oleh ayah dari pemilik hostel yang lagi asyik menyeruput teh hangat di ruang tamu. Ajakan itu langsung saya amini di tengah dinginnya udara pagi saat itu yang menusuk tulang. Begitu toast pertama dilakukan, si ayah bertanya kepada saya dalam bahasa Viet Nam yang ditranslate oleh putranya. Pertanyaannya: “How old are you?”